Dikisahkan
seorang penjual kurma yang hidup pada masa Rasulullah. Si penjual kurma
tersebut waktu itu agak sulit mendapatkan kurma yang baik. Ketika itu
di tokonya banyak yang antri untuk membeli kurmanya, beberapa di
antaranya adalah perempuan. Pada saat tiba giliran seorang perempuan
yang muda dan cantik ingin membeli, perempuan itu menanyakan, adakah
kurma yang baik? Si penjual kurma menanyakan bahwa kurma yang dimaksud
itu ada, tetapi di dalam. Si pedagang mengatakan kepada si perempuan
untuk menunggu sebentar setelah ia selesai melayani pembeli yang lain.
Setelah
si penjual kurma selesai melayani pembeli yang lain, perempuan itu pun
datang lagi menanyakan kurma yang dimaksud kepada si penjual kurma. Lalu
si penjual kurma pun mengajak si perempuan ke dalam. Setelah sampai di
dalam, yaitu di belakang toko, si penjual kurma kemudian mencium
perempuan itu. Rupanya si penjual kurma sengaja mengatakan bahwa kurma
yang dimaksud ada di dalam atau di belakang, tak lain agar ia bisa
mencium perempuan tersebut.
...
Setelah
kejadian itu, si penjual kurma pun menyesal akan perbuatannya. Ia pun
datang kepada Rasulullah menceritakan perihal perbuatannya itu.
Rasulullah menanyakan, apakah perbuatan itu dilakukannya dengan sadar.
Dijawab oleh si penjual kurma, bahwa memang perbuatan tersebut
dilakukannya dengan sadar. Ditanyakan lagi oleh Rasululah, apakah
perbuatan tersebut didorong oleh hawa nafsu. Si penjual kurma
menyatakan, bahwa memang benar perbuatannya tersebut didorong oleh hawa
nafsu. Rasulullah kemudian mengatakan, kalau begitu, si penjual kurma
harus bertaubat, yaitu dengan cara berwudhu’, kemudian salat dua rakaat.
Sewaktu sujud, maka perlamalah sujud, dan kalimat “astaghfirullah”
diulangi sampai seratus kali.
Setelah itu, turunlah ayat yang menyatakan:
Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.
Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (Q.S. Huud: 114)
…
Kita
sering berdoa yang intinya meminta kepada Allah dan bermunajat
kepada-Nya agar kita senantiasa bertaubat. Bahkan dalam doa yang sering
kita panjatkan itu, yaitu “Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha
illallah wallahu akbar” oleh Imam Al-Ghazali dikatakan merupakan
kalimat-kalimat yang paling mulia dan juga selalu diucapkan oleh
Rasulullah. Aisyah istri Rasulullah pernah bertanya, “Mengapa engkau ya
Rasulullah selalu mengucapkan kalimat itu? Mengapa engkau selelu
bertaubat? Bukankah engkau telah dijamin tidak mempunyai dosa?”
Rasulullah
pun menjawab, “Aku dijamin tak mempunyai dosa. Tetapi aku kadang-kadang
merasa menjadi berdosa. Aku malu kepada Allah yang telah memberikan
segala-galanya kepadaku. Mengapa aku kemudian tidak memuji-Nya, padahal
Allah telah memberikan kepadaku segala sesuatu.”
Kalau
Rasulullah selalu mengucapkan kalimat-kalimat itu, mengapa kita tidak?
Kalau Rasulullah masih mau bertaubat, mengucapkan kalimat
“astaghfirullaahal ‘azim”, mengapa kita tidak?
Allah berfirman:
Wa
saari’uu ilaa maghfiratin min rabbikum wa jannatin ‘ardhuhaas-samawaatu
wal aardh u-’iddat lil muttaqiin [Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,] (Q.S. Ali Imraan: 133)
Mengapa
Allah mengatakan “Wa saari’uu ilaa maghfiratin min rabbikum”,
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu, cepat-cepatlah kalian
semuanya bertaubat? Apakah maksudnya? Maksudnya, agar setiap setelah
kita melakukan suatu perbuatan dosa, kemudian kita sadar, maka cepatlah
pada saat itu juga meminta ampun kepada Allah, jangan ditunda-tunda.
Misalkan, ketika kita berdusta, segeralah mengucapkan “astaghfirullah”.
Dan Allah mengatakan, bahwa perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus
dosa.
Berkaitan
dengan taubat adalah dosa. Menurut para ulama, secara umum pada
dasarnya dosa itu ada dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Dosa besar
ada lagi yang terbesar, yaitu musyrik (menyekutukan Allah). Para ulama
berbeda pendapat mengenai musyrik. Ada yang berpendapat bahwa musyrik
tidak diampuni oleh Allah. Sedangkan pendapat yang lain menyatakan,
mengapa tidak diampuni, buktinya sahabat-sahabat Rasulullah seperti Abu
Bakar, Umar ibn Khattab, dan Utsman ibn Affan itu sudah dinyatakan
diampuni oleh Allah, padahal mereka semuanya pernah menjadi musyrik.
Jadi, dosa syirik tetap diampuni oleh Allah.
Dosa
besar yang lain adalah: mendurhakai orang tua, dusta di pengadilan,
memakan makanan yang haram, berzina, membunuh, dan mengambil hak orang
lain (mencuri). Dosa besar takkan diampuni dengan hanya mengeluarkan
sedekah, ataupun melakukan salat sunnat, melainkan dosa besar akan
diampuni apabila orang tersebut memang benar-benar bertaubat dan
bertekad tidak mengulanginya lagi (taubatan nasuha). Sedangkan dosa-dosa
kecil tak bisa kita hindari, di mana-mana kita temui dosa kecil ini,
tapi di mana-mana kita temukan kesempatan untuk beribadah dan bertaubat.
Dosa-dosa kecil ini bisa terhapus dengan salat, berwudhu’, dan ibadah
lainnya. Karena itulah, kita harus bersegera untuk taubat.
Niat
adalah suatu hal yang paling penting. Jika kita sudah berniat untuk
bertaubat, maka hal tersebut sudah dianggap suatu kebaikan.
Dari
sinilah katanya hadist yang mengatakan “innamal a’malu bin niat” (amal
itu ditentukan oleh niat). Dan Allah itu Ghafurun Rahim (Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang). Karena itulah, jangan takut bahwa kita tidak
diampuni oleh Allah. Selama niat kita untuk bertaubat, insya Allah kita
akan dia
0 komentar: